Kamis, 02 Juli 2009

Kasus kepemimpinan

Kasus Kepemimpinan
Kepemimpinan dengan Emotional Intelligence.

Pikirkan tentang pemimpin pemimpin idola anda, apa yang anda kagumi dari mereka? Mungkin anda akan mencoba menerangkan kehebatan ide mereka, kejeniusan otaknya, atau kecerdikan cara kerjanya. Tapi yang lebih mungkin, pemimpin besar selalu membawa kita menjadi larut dalam emosinya: keberaniannya, ketegarannya, kemauannya, integritasnya, komitmennya, atau keuletannya.
Daniel Goleman, penulis yang telah mempopulerkan Emotional Intelligence beberapa tahun lalu, kini menulis tentang kepemimpinan. Buku tebal yang cukup sarat ini ditulis tiga orang Doktor dan diterbitkan oleh Harvard Business School Press. Artikel yang sama telah ditulis Goleman lebih dahulu dalam dua kali terbitan majalah bisnis paling bergengsi Harvard Business Review.
Ukuran Emotional Intellegence seseorang adalah EQ (Emotional Quotient), yang sering dipakai sebagai salah satu tolok ukur faktor sukses. Bahkan kini sering dianggap lebih penting dari IQ (Intellectual Quotient). IQ umumnya berhubungan dengan kemampuan berpikir kristis dan analistis dan diasosiasikan dengan otak kiri, sedangkan EQ lebih banyak berhubungan dengan perasaan dan emosi dan otak kanan.
Dalam sebuah survey besar pada ratusan perusahaan besar Amerika, diselidiki faktor2 apa yang membuat seseorang pimpinan atau manager menjadi jauh lebih berhasil dari yang lain. Ternyata bukanlah perbedaan kemampuan teknis atau kemampuan analisa yang penting, tapi justru hal hal yang berkaitan dengan emosi dan perasaan dan hubungan personal. Empat hal yang paling menonjol adalah: Kemauan dan keuletan untuk mencapai tujuan, kamauan mengambil initiative baru, kemampuan bekerjasama dan kemampuan memimpin team.
Secara umum ada enam tipe kepemimpinan. Visionary, atau Kepemimpian dengan Visi, yang mampu membawa orang pada tujuan impian bersama. Tipe ini dibutuhan pada saat terjadinya ketidak pastian atau dibutuhkannya perubahan. Coaching, atau Gaya Pembinaan, yang lebih mengutamakan hubungan inter-personal seorang dengan seorang untuk mencapai tujuan organisasi, lebih pas untuk melestarikan kemapanan. Affiliate, atau Kepemimpinan Kerja sama, yang lebih mengutamakan harmoni, sangat bagus untuk masa2 susah dan memotivasi team yang sedang dalam krisis. Democratic, Kepemimpinan Demokrasi, mengedepankan pendapat dan pandangan semua orang, konsesus dan keinginan bersama adalah pendapat tertinggi. Pacesetting, Kepemimpian Memacu Kemajuan, sangat dibutuhkan untuk memotivasi team dalam mengejar ketinggalan atau untuk mencapai target yang luar biasa. Commanding, atau Kepemimpian Otoriter, yang lebih umum dipakai untuk mengatasi kemelut internal.
Dari enam tipe kepemimpian itu, empat yang pertama lebih mementingkan Emotional Intelligence, dan lebih sering berhasil dari pada dua yang terakhir. Pemakaian dua tipe terakhir haruslah dijalankan dengan sangat berhati hati, karena dalam pelaksanaanya sering membawa hasil buruk. Hanya pada situasi khususlah kedua tipe tersebut boleh digunakan dengan hati hati. Seorang pemimpin dapat saja memiliki dan memakai beberapa tipe gaya kepemimpinan yang berbeda untuk keadaan dan saat yang berbeda.
Kepemimpian dapat diajarkan dan dilatih, dan bukan didapat sejak dari lahir. Hal ini sering diperdebatkan, dan secara ilmiah telah dibuktikan pada banyak survey bahwa dengan pelatihan dan dalam iklim yang menunjang, seseorang dapat berkembang dan menjadi pemimpin yang baik.
Emosi bagaikan virus, dia menular secara tidak disadari dalam sebuah organisasi atau perusahaaan. Senyum adalah hal sederhana yang menebarkan virus baik, tertawa lebih baik lagi karena membuat kita dan orang lain menjadi rilek dan merasa tentram. Sebuah studi membuktikan bahwa tertawa membawa dampak sangat positip dalam dunia usaha dan menigkatkan produktivitas secara mencolok. Sebaliknya emosi negatip seperti iri, dengki, curiga, saling menyalahkan juga akan menular cepat dan mengakibatkan kerugian besar.
Ada lima langkah untuk seseorang dapat maju menjadi pemimpin yang lebih baik. Pertama dia harus mempelajari impian ideal tentang dirinya sendiri. Ini dapat dilakukan dengan misalnya mencoba secara serius berpikir apa yang ingin dicapai lima belas tahun yang akan datang. Memikirkan segala aspek secara detail, terutama tentang kwalitas kepemimpinannya. Kedua, melihat dirinya sendiri saat ini secara jujur dan terbuka. Bercermin dan menganalisa secara kritis akan dirinya. Dan mulai menulis kwalitas apa saja yang belum dipunyai dengan membandingkan keadaan impian dengan kenyataan sekarang. Ketiga mulai membuat agenda kerja tentang apa yang harus dipelajari dan dilatih untuk mencapai idealnya. Keempat mulai melangkah dan melakukan langkah langkah tersebut baik melalui pelatihan, pemikiran, penajaman perasaan dan penyempurnakan diri. Kelima mencari orang yang dapat diajak untuk membantu memperlancar dan mengawasi perubahan dirinya menuju perbaikan tersebut.
Motivasi untuk mau berubah adalah sebuah kunci yang perlu ada. Orang tidak akan bisa berubah kalau tidak ada kemauan keras untuk itu. Sering dibutuhkan sebuah kejadian besar dalam perjalanan hidup seseorang untuk dapat merasakan kebutuhan akan perubahan dalam dirinya. Harus ada sebuah harapan impian yang memang benar benar diinginkannya untuk membuat seseorang mau melewati kesakitan dan beratnya beban perbaikan.Pemimpin sering dikelilingi oleh kepalsuan yang diciptakan oleh bawahannya yang sekedar ingin menyenangkan pimpinannya saja. Dibutuhkan sebuah kemauan untuk melihat dirinya secara lebih jujur dan terbuka untuk menyadarkan seseorang.
Untuk dapat memiliki kompetensi dalam Kepemimpinan Emotional Intelligence, kita perlu memulai dengan penyadaran diri kita dan melakukan managemen diri sendiri secara sadar. Menyadari akan emosi emosi kita, dan secara tepat menilai emosi diri kita serta memiliki kepercayaan diri untuk melakukan perbaikan. Mulai dari kontrol diri sendiri, bersikap tenang dalam situasi apapun, memiliki keterbukaan dan kejernihan emosi, serta kemampuan adaptasi terhadap lingkungan dan tetap fokus pada hal hal yang positip. Optimisme dan kemauan melakukan inisiatip penting untuk dapat mencapai kemajuan pribadi dan menghasilkan pancapaian yang maksimal.
Dalam hubungan dengan sekeliling kita, kita perlu memiliki empati, kemampuan menangkap dan menyelaraskan emosi kita dengan emosi orang lain atau lingkungan kita. Kita harus memiliki keterbukaan dan kepekaan akan sekeliling kita, dan mau memberikan layanan emosi pada sekeliling kita. Kemampuan kita menjadi inspirasi bagi bawahan, kemampuan memberi dampak positip dan kemampuan untuk membimbing dan menumbuhkan jiwa bawahan kita. Penyelesaian perikaian yang adil dan baik, membuat kerja team menjadi lebih efektip dan kemampuan menjadi katalis perubahan dalam organisasi adalah tanda kematangan kita dalam kepemimpinan Emotional Intelligence kita.
Bagimana cara belajar untuk memajukan EQ kita? Pelatihan formal saja tidaklah cukup. Stealth Learning, mengambil nama pesawat Amerika yang tidak dapat dideteksi oleh radar, merupakan cara terbaik. Belajar secara diam diam dan tidak diketahui orang lain, dalam kehidupan sehari hari kita. Memperbaiki emosi kita dan menjalankan kehidupan dengan nilai nilai positip secara bertahap tapi pasti, dalam tindakan sehari hari.
Pemimpin yang baik harus dapat mengambil emosi emosi yang baik dari bawahan dan perusahaan dan memperpanjang gaungnya serta menyelaraskan seluruh iklim budaya organisasinya pada nilai nilai positip dari emosi emosi tersebut.